Wednesday, October 2, 2013

Unite

0

Unite
By : Mikazuki_Hikari
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi ©
This Fic belongs to Mikazuki_Hikari
Rate : T
Genre : Romance
Pairing : Aomine D, Kuroko T
Warning : Shonen-Ai, Typo(s), EYD tidak sesuai aturan, Male x Male, Alternate Universe (AU), OOC
Don't Like Don't Read
I have warned you
.
.
.
"Semoga di jalan pulang ketemu jodohmu yaaa!" teriak Kise di kejauhan

Kuroko menyusuri jalan pulang, ia membeli beberapa bahan mentah dari supermarket dan membeli beberapa perlengkapan sekolah. Tanpa disadari saat itu hujan turun deras sekali dan Kuroko tidak membawa payung jadi terpaksa ia meneduh di depan supermarket.
Dari belakang Kuroko merasakan ada tangan yang menepuk bahunya, seorang pria tinggi berkulit gelap dan berambut indigo menghampirinya.
"Kenapa menatap nanar terus kelangit, hujan itu tak akan berhenti hanya dengan menatap kearahnya." Ucap pria itu.
"A-aku tak membawa payung." Wajah Kuroko mengeluarkan semburat merah.
"Pfftt..." pria itu menahan tawanya.
"Apanya yang lucu?" tanya Kuroko.
"Kau." Pria itu tertawa
Kuroko memalingkan wajahnya yang merona.
"Aomine Daiki." Pria itu memperkenalkan dirinya.
"Tetsuya K-kuroko." Kuroko memperkenalkan dirinya.
"Tetsu, kau tidak bawa payung kan?" tanya Aomine.
'Tetsu? Pria ini sok akrab betul, baru bertemu sudah memanggilku dengan nama depan.' Batin Kuroko.
"Iya aku tidak bawa." Jawab Kuroko.
"Ini kita bisa pakai payungku." Aomine membuka payungnya.
"Tapi rumahku jauh dari sini." Ucap Kuroko.
"Kau bisa mampir dirumahku dulu sampai hujannya berhenti." Tawar Aomine.
"Ta-tapi?!"
"Sudahlah tak apa." Aomine tersenyum.
"Baiklah." Kuroko mengiyakan tawaran Aomine.
Payung Aomine yang tidak cukup besar untuk memuat kedua tubuh mereka membuat perasaan canggung melanda Kuroko, tidak pernah ia sedekat ini dengan pria asing yang mendadak menawarinya untuk pulang, jalan yang basah, aroma khas hujan, dan aroma tubuh Aomine menyeruak dihidung Kuroko dan membuat hatinya berdebar debar.
"Kenapa Tetsu?"
"Iiie..." Kuroko menundukkan wajahnya yang memerah.
"Kau demam? Wajahmu memerah." Tanya Aomine.
"Tidak kok."
"Ah, kita sudah sampai." Kuroko dan Aomine menghentikan langkah kaki mereka didepan sebuah rumah yang tidak begitu besar, kira kira sama besarnya dengan rumah Kise.
"Ojamashimashita." Kuroko melangkah masuk.
"Tetsu, apa tidak sebaiknya kau berganti baju? Bajumu lembab tuh." Aomine mengangkat sebelah alisnya.
"A-aku tidak bawa baju ganti."
"Kau bisa pakai bajuku." Aomine tersenyum, kemudian melangkahkan kakinya ke kamarnya untuk mengambil pakaian.
Setiap melihat senyuman pada pria itu, mendengar nada dan cara pria itu berbicara, hati Kuroko kacau dibuatnya, setiap kali Kuroko mengingat ingat hal itu, wajahnya merona.
"Tetsu, tangkap." Aomine melemparkan selembar pakaian ke tangan Kuroko.
"Cepat lepaskan pakaianmu." Tukas Aomine.
Mendengar perkataan Aomine wajah Kuroko memerah.
"A-apa sebaiknya kau tidak melihat ke arahku?" Kuroko berusaha memalingkan wajahnya.
"Baiklah kalau itu maumu." Aomine membalikkan wajahnya.
Bagaimana hati Kuroko tidak gugup, Aomine sekarang hanya memakai selembar singlet. Kuroko bisa melihat dengan jelas lekuk tubuhnya, rasanya sekarang tidak kuat untuk menatap ke arah Aomine.
Aomine sekilas bisa melihat punggung anak itu yang ternyata ikut membalikkan badannya. Dilihatnya kalau bajunya kebesaran ditubuh mungil anak itu.
"K-kebesaran.." semburat kemerahan kembali muncul di wajah pria berambut biru itu.
"Pfftt.." Aomine menahan tawanya lagi.
"Apa yang lucu." Rona di wajah Kuroko semakin pekat.
"Iiee." Aomine masih tertawa dan kemudian mendekati Kuroko dan mengusap rambutnya.
"A-aomine-kun s-sudah makan?" Kuroko mencoba untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Belum, kenapa?" tanya Aomine.
"Aku masakkan nasi tim ayam yah?" tawar Kuroko.
"Kau bisa memasak?" tanya Aomine.
"B-bisa." Wajah Kuroko merona kembali.
"Seperti perempuan." Aomine memicingkan matanya.
Kuroko segera menyiapkan bahan bahan untuk memasak dan mulai mengiris rempah rempah yang dijadikan bumbu lalu memotong ayam.
Aomine mendekati Kuroko dan memeluk tubuh anak itu dari belakang.
"N-nani?" wajah Kuroko kembali memerah.
"Iiie.." Aomine mempererat pelukannya.
Jantung Kuroko sudah berdebar tidak karuan, wajahnya sudah seperti kepiting rebus, hela nafas Aomine yang terasa di tengkuknya pun membuat debaran jantung itu semakin cepat, ditambah tangan Aomine yang besar dan dingin tengah merangkul pinggangnya yang mungil.
"Ini sudah jadi." Kuroko meletakkan masakannya dipiring.
"A-aku suapi yah?" tawar Kuroko.
"Terserah kau." Ucap Aomine.
Mereka melangkahkan kaki ke ruang makan, disana, dengan perlahan dan hati hati Kuroko menyuapi Aomine nasi tim ayam buatannya.
"Suka.." wajah Kuroko memerah.
"Nnn?" Aomine menaikkan sebelah alisnya.
"Aku suka Aomine-kun." Kata Kuroko pelan.
Aomine mengelus rambut Kuroko sayang.
Kuroko yang sudah salah tingkah pun tanpa ia sadari menyuapi Aomine dengan sangat cepat dan membuat pria berkulit gelap itu tersedak.
"Gomen, tidak sengaja." Kuroko menyodorkan segelas air minum.
"A-arigatou." Aomine menenggak air putih yang Kuroko berikan.
"Tetsu." Panggil Aomine.
"Hai?"
"Kita kan baru saja bertemu, kenapa kau bisa dengan gamblang menyatakan kau suka padaku?" tanya Aomine.
"A-aku hanya merasa dari tadi, jantungku berdebar tidak karuan, wajahku menjadi panas saat dekat denganmu, jadi aku kira aku menyukaimu."
Aomine mendekati anak itu kemudian mengecup keningnya.
Kuroko tidak bisa berkata kata apa lagi, semburat merah di wajahnya menyiratkan seluruh perkataannya kalau tak bisa ia pungkiri, ia menyukai pria didepannya.
"Aku juga." Aomine tersenyum kemudian mengusap rambut anak itu kembali, dan memeluk tubuh ana itu erat.
Kuroko sangat menyukai sentuhan tangan Aomine dikepalanya, tanpa ia sadari ia sekarang sedang berada di pelukannya.
"Aomine-kun tidak keberatan denganku?" tanya Kuroko polos.
"Tidak, untuk apa." Aomine kembali tersenyum.
"Suka..." Kuroko mengatakannya lagi.
Aomine mengerjapkan matanya.
"Aku suka Aomine-kun, dan kupikir aku tidak akan menyukai siapapun lagi kecuali Aomine-kun." Tukas Kuroko.
"Ano saa..." Aomine menundukkan wajahnya.
"Nani?"
"Sebenarnya aku sudah punya pacar, namanya Kise, namun akhir akhir ini aku jenuh dengannya, maka dari itu aku sekarang sedang mencari pasangan baru, aku lebih suka orang dengan sifat sepertimu, jujur saja." Tukas Aomine.
Mata Kuroko terbelalak, baru saja ia mendengarkan Aomine menyebutkan nama Kise, dan menyebut Kise sebagai kekasihnya, debaran jantung itu serasa terhenti seketika, dan berganti menjadi sebuah rasa sakit yang amat sangat.
"K-kise itu... sahabatku." Suara Kuroko gemetar.
"Sou..."
"Kenapa Aomine-kun tidak mencoba jujur sama Kise-kun?" tanya Kuroko yang mencoba untuk menutupi rasa sakit dihatinya.
"Aku takut dia marah."
"Kenapa tak coba bicara saat suasana hatinya sedang baik?" tanya Kuroko.
Aomine tidak menjawab.
"Kalau begitu terserah Aomine-kun saja.." Kuroko hanya bisa pasrah.
Aomine mendekap tubuh anak itu sekali lagi, Kuroko membalas pelukan itu tangan mungilnya yang gemetar mencengkram erat bagian belakang baju Aomine, Aomine pun mempererat pelukan mereka.
"Hujannya belum berhenti, ini sudah malam, bagaimana kalau kau menginap disini?" tawar Aomine.
Kuroko menganggukkan kepalanya.
"Aku sudah mengantuk, Aomine-kun tidak tidur." Kuroko mengusap matanya.
"Tidak, aku mau nonton dulu, kau bisa tidur ditempat tidurku."
"Baiklah, oyasumi." Ucap Kuroko.
"Oyasumi" Aomine mengecup kening anak itu.
-=Keesokan paginya=-
Langit mendung yang semalam sudah kembali menjadi cerah, cahaya matahari menembus jendela rumah Aomine terasa hangat di tubuh Kuroko yang membukakan tirai jendela itu.
"Aomine-kun, ohayou." Kuroko menghampiri kursi yang ditiduri Aomine.
Tidak ada respons dari pria yang ada terbaring pulas dikursi didepannya.
"Aomine-kuun, sudah pagii." Kuroko mengguncang tubuh Aomine.
"Sebentar lagi..." gumam Aomine.
Aomine bangkit dari posisinya dan merebahkan tubuh Kuroko dikursi, kemudian menjilat pipi mulus Kuroko.
"Aomine...kun" mata Kuroko terbelalak, wajahnya sudah merah padam.
"G-gomen." Aomine menghentikan tindakannya.
"A-aku sudah siapkan makanan, tinggal kau makan saja, aku mau pulang dulu." Kuroko mengemasi barang barangnya.
"Oooh, jadi sudah mau pulang?" tanya Aomine.
"Iya."
"Anooo..." panggil Aomine.
"Nani?"
"Ini aku beri alamat e-mailku, jadi aku bisa menghubungimu." Aomine menyerahkan selembar kertas yang berisikan alamat e-mailnya.
"Ok, aku pulang dulu ya." Kuroko tersenyum.
"Tetsu.." Aomine mendekati Kuroko dan mengecup jidat Kuroko.
"Hati hati dijalan." Aomine tersenyum.
"Unnn..." Kuroko melangkahkan kakinya menjauhi rumah Aomine.
-=Seminggu Kemudian=-
Kuroko mengambil handphonenya dan mengirim sebuah e-mail ke ponsel Aomine
[Oiia, Aomine-kun aku mendengar Kise sudah seminggu ini tidak dirumah, kau tahu kenapa?] tanya Kuroko.
[Tidak, aku belum dengar]
[ sudah di e-mail?] tanya Kuroko
[Ini barusan sudah, tapi belum dijawab]
[Anoo, Aomine-kun, kukira aku mengganggu hubungan kalian, dan aku yang menyebabkan Kise-kun seperti ini ._.]
[Tidak kok =w=]
[Iya...]
[Sou... errr, sudah yah aku mau mengerjakan tugasku dulu]
[Baiklah... sampai besok ^^]
[ =w= ]
-=Rumah Kuroko=-
"Aomine-kun kenapa mendadak menjadi dingin seperti itu yah..." batin Kuroko
"Apa aku kerumah Aomine-kun saja yah..." Kuroko tertunduk lesu.
-=Rumah Aomine=-
"Aomine-kun." Panggil Kuroko dari luar pintu.
"Aomine-kun..." Kuroko mengetuk pintu rumah Aomine.
Saat Kuroko mengetuk pintu rumah tersebut pintu itu ternyata tidak terkunci, dan Kuroko melangkah masuk.
"Aomine-kun aku masuk yah, pintunya tidak dikunci." Kuroko menyusuri selasar rumah Aomine.
Sayup sayup Kuroko bisa mendengar bunyi desahan yang mengacu pada ruang televisi Aomine, perlahan Kuroko melangkahkan kakinya menuju ruangan tersebut.
Kuroko terperangah, tubuhnya gemetar dan terkulai lemas sehingga terjatuh dihadapan sepasang kekasih itu.
"Kurokocchi!" ucap Kise yang masih dicumbu oleh Aomine.
Kuroko tidak menjawab air mata sudah membanjiri pipinya, ingin rasanya ia teriak saat itu namun suaranya tidak keluar.
"Kau sudah lihat sendiri, pergilah, aku tidak mau melihatmu lagi." Tukas Aomine.
Kuroko terbelalak mendengar perkataan Aomine barusan hatinya seperti teriris sebilah pedang, saat merasa tenaganya sudah sedikit pulih Kuroko berlari meninggalkan mereka...
.
.
.
-Kuroko POV-
Aku tidak bisa membayangkan kalau jatuh cinta bisa sesakit ini.
saat aku disakiti oleh pria itu, bahkan semua masih bisa tergambar jelas di benakku sekarang, bagaimana dia menyakitiku dengan cara yang tidak menyenangkan.
Namun dibalik semua itu, senyumannya yang lembut akan datang ke benakku jika aku menutup mata, meninggalkan sejenak kenyataan yang ada, dan tenggelam dalam khayalan sesaat yang menyenangkan, dimana aku bisa menyentuhnya sekali lagi, walau itu hanya sebatas khayalan semata.
Aku bisa merasakan kalau dia sangat berarti untukku, bahkan aku masih menyimpan kontak telefonnya, walau aku tau, dari nomor tersebut tidak akan ada e-mail baru yang masuk, tapi aku tau, bahwa akan lebih baik jika seperti ini.
Sekarang dia sudah terasa sangat jauh, jauh sekali, dan aku tau kalau semua ini jarak yang memisahkan ini sangatlah menyakitkan, ditambah lagi, sekarang aku tidak bisa lagi menyentuh tangannya lagi.
Aku duduk di sebuah kafe, tidak memesan apa apa untuk dimakan, aku hanya memesan segelas soda, dan membiarkan diriku hanyut dalam lamunan.
Sesekali kupandangi gelas sodaku, banyak buih buih disana terlepas, dan naik satu persatu dan kemudian lenyap saat aku mengaduknya.
Aku hanya berharap, kenanganku, kenangan bersama seorang Aomine Daiki, yang sudah terlanjur meleleh kedalam lubik hatiku ini, bisa perlahan naik dan menghilang dari pikiranku layaknya gelembung gelembung soda tersebut.
Detik jam terus berjalan, kulihat langit sudah menjadi gelap, dari jingga, hingga menjadi kelam seutuhnya, seiring bertambah gelapnya hari tidak ada bayangan lagi yang tersisa di sekitarku
Dulu kita sering bercanda dan tertawa bersama, aku bahagia hanya dengan adanya Aomine disisiku, namun kenyataan bahwa Aomine tidak ada lagi disini itu sudah cukup untuk membuatku hancur.
Sesaat kulihat refleksiku di cermin toko, dan yang nampak hanya seorang pria berambut biru langit, sendirian, tanpa ada sosok yang menemani disana, nampak kesepian, dan nampak bodoh.
Jujur aku belum pernah menyukai orang seperti ini sebelumnya, aku bahkan memutuskan untuk tidak menyukai siapa siapa lagi, karena menurutku, yang bisa mengisi kekosongan ini, hanya Aomine seorang.
Dan Akhirnya aku hanya bisa tertunduk lesu, aku tidak mungkin bisa berharap, saat aku menengok dan melihat cermin itu sekali lagi, ada bayangan refleksi diri Aomine disana, dan hal itu membuatku gusar, dan kembali terhanyut dalam keheningan malam.
Akhirnya aku memutuskan pulang kerumah, aku memutuskan untuk tidur, namun tidak bisa, aku hanya merebahkan kepalaku dimeja dengan segelas air ditanganku
Setiap kali aku mendengar suara pintu yang terbuka, aku mengangkat kepalaku, mengharap kedatangan seorang Aomine Daiki.
Aku berharap dia datang dan menghampiriku dan berkata, "Maaf aku terlambat Tetsu, tadi ada beberapa kendala di jalan" lalu ia menciumku dipipi sambil melepaskan jaket juga syalnya, seakan kejadian mengerikan itu tidak pernah terjadi.
Melihat ekspresinya wajahnya saat meminum kopi, juga memasak makanan buatanku, lebih menyenangkan dari pada bicara dengannya, namun aku tau membicarakan tentang kesedihan, yang muncul dimimpiku adalah hal yang tak berdaya.
Waktu beriring perlahan berjatuhan, seiring berlalunya musim, aku bisa merasakan ada suatu persimpangan yang memisahkan kita berdua dimana persimpangan itu biasa orang sebut dengan takdir, membuat kami berdua, aku dan Aomine, berada di jalan yang benar benar berbeda sekarang.
Sekarang aku berada disini sendiri karena Aomine tidak ada disini lagi, tidak ada di sampingku, hanya ada di benakku sebuah gambaran dari sebuah cinta yang semu.
Benar, sekarang pun aku masih belum terbiasa dan masih tidak terima akan pahitnya kenyataan, sesekali aku berjalan menuju arah rumah Aomine, namun pada kenyataannya aku hanya bisa melihat pintu depan rumahnya, berharap ada yang keluar dari sana dan memelukku sekali lagi.
Di pintu itu masih bisa kulihat pemandangan hujan waktu itu, dimana aku masuk kedalam dan mengutarakan perasaanku, saat pemandangan itu muncul aku berlari sekali lagi, meninggalkan rumah itu, sama seperti saat aku lari terakhir kalinya dari rumah itu.
Aku tau aku masih bisa terhubung dengannya, e-mail yang ada di urutan pertama, nama Aomine Daiki, namun setiap kali ingin menekan nomor itu keraguan muncul dari benakku, yang menghalangiku untuk menghubunginya.
Aku heran, apa yang waktu sedang ajarkan pada kita? Suatu hari nanti, apa sang waktu akan mengajarkanku untuk lupa? Lupa akan semua kepahitan ini?
Akan tiba saatnya nanti, hari ketika semua kesedihanku memudar, benar, itu bentuk hiburan penuh harapan, dan aku percaya akan hal itu.
Tapi mengapa? Semenjak Aomine-kun tidak ada lagi dalam kehidupanku, semenjak dia tidak lagi ada disini, disisiku, aku selalu semakin mengingatnya seperti lamanya keabadian yang tak terkendalikan.
Aku melangkahkan kakiku keluar dan dengan sekali lagi berharap, aku bisa menemuinya, aku melangkah ke super market itu sekali lagi, berharap aku bisa menemuinya lagi disana, saat kutunggu hingga sore hari aku hanya bisa tertunduk lesu.
Aku duduk bersandar di tiang penyangga super market itu, memejamkan mataku sejenak saat langit yang kulihat sekali lagi berubah menjadi senja, berharap yang membangunkanku nanti, adalah sentuhan tangan Aomine-kun yang lembut, mungkin terkesan mengada ada, namun aku masih percaya, keajaiban itu ada.
.
.
.
-=Beberapa Bulan Kemudian=-
Sampai sekarang aku tetap menyalahkan diriku sendiri, apa salahku, apa aku kurang baik untuknya, apa aku mengatakan hal yang salah sehingga dia begitu dingin terhadapku, apa tidak boleh aku menyukainya? Tidak bolehkah aku memiliki satu orang saja yang khusus untuk diriku sendiri? Tiap harinya seluruh pertanyaan itu bergaung di benakku, sampai membuatku tidak bisa mengontrol emosi dan diriku sendiri.
Hingga saat ini, kalau aku mengingat kembali akan wajahnya, aku tidak sanggup menahan air mataku, dari hatiku yang terdalam, aku masih bisa mendengar suaranya, bagiku, hanya dengan mengingat cara ia bicara, itu sudah cukup bagiku, maka dari itu, aku memutuskan untuk tidak akan jatuh cinta lagi.
Aku bangun dari tempat tidurku, merapikannya dan bersiap untuk pergi bekerja sambilan di sebuah mini market, kenapa aku bisa bekerja sambilan? Menurutku akan lebih mudah aku menjalani kehidupan yang seperti ini.
Aku meninggalkan apartemenku dan pergi ke stasiun yang ada dekat rumahku, menuju tempatku bekerja, hari yang biasa, pekerjaan yang biasa juga, tak ada yang berubah, sesekali aku memandangi langit, berharap kalau aku bisa bertemu dengan dia sekali lagi, yang aku ingin ucapkan padanya hanyalah satu kata, yaitu 'maaf'
Aku berusa untuk tidak menangis, karena, hanya dengan membayangkan sosoknya saja sudah membuatku sedih.
Akhirnya aku sampai di tempat kerjaku, aku terhitung pegawai baru disana karena aku baru bekerja selama 4 bulan.
Pintu toko otomatis terbuka menyambutku dan aku segera pergi kemesin kasir untuk bersiap siap dan merapikan isinya.
Karyawan yang lain juga sudah mulai berdatangan, dan dalam sekejap tempat ini seperti sudah siap untuk berbisnis.
Seorang pelanggan pertama memasuki pintu toko, siluet tubuhnya perlahan nampak jelas, dan pada akhirnya aku bisa mengenali wajahnya.
'Aomine!' batinku, aku terkejut setelah sekian laa aku menghindar dan mencoba untuk tidak bertemu dengannya, sekarang kami malah bertemu ditempat seperti ini?
Aku berusaha memalingkan wajahku saat ia mulai melangkah lebih dalam, sekeras apapun aku menghindar, pada akhirnya ia juga akan kemeja Kasir ini, satu kesempatan terakhirku untuk lari adalah meninggalkan meja kasir ini sekarang juga, namun aku bisa dimarahi bossku kalau aku membiarkan kasir dalam keadaan kosong, kalau aku berdalih nantinya, ada CCTV yang menyergapku dari atas, benar benar tidak bisa berkutik.
Saat penentuan tiba, dia akhirnya melangkah kemari sambil membawa beberapa barang ditangannya dan sebuah keranjang.
"Maaf, tolong dihitung semua-" ucapan nya terhenti dan dia melihat ke arahku.
"Kau!" aku bisa melihat pupil matanya yang mengecil karena terkejut melihatku, aku hanya bisa diam, jika aku berkata sepatah kata yang salah saja, aku bisa seakan membunuh diriku sendiri.
"Maaf tuan, tolong letakkan belanjaannya." Aku berusaha untuk tenang, menganggapnya sebaimana mestinya aku bicara pada seorang pelanggan.
"Kau, kemari sebentar!" Dia menyeret tanganku, pegawai lain yang bernama Nakatani langsung menggantikan posisiku di mesin kasir
"Maaf tuan, ini sedang jam kerja tidak bisakah kau tidak menggangguku, nanti bossku marah." Kataku untuk membuat suasana menjadi tidak semakin buruk.
"Kau sudah lupa padaku?" tanya-nya sorot matanya memelas dan sayu.
Lupa? Bagaimana aku bisa lupa pada orang yang menyakitiku tepat didepan mata kepalaku sendiri, bagaimana aku bisa mudah melupakan orang yang pertama kali dalam hidupku membuat aku hancur seperti sekarang ini? Begitu pikirku.
Aku tidak menjawab hanya bisa diam seribu bahasa.
"Tetsu..." nada bicaranya rendah.
Aku tetap tidak memberinya jawaban apapun, aku takut akan terjatuh pada perangkap yang sama untuk kedua kalinya.
Dia memeluk tubuhku, menyandarkan kepalanya di pundakku, kemudian membisikkan satu kata yang lembut ditelingaku.
"Aku merindukanmu.." begitu katanya.
Baka! Tidak kah kau hanya memberikan harapan palsu kepadaku? Apa yang terjadi denganmu? Bukankah kau sendiri yang bilang untuk tidak menemuimu lagi karena kau sudah memilih orang itu ketimbang aku? Mengapa? Mengapa jantungku masih bisa dibuat berdebar olehnya, mengapa perasaanku masih bisa kacau dibuatnya? Apa tandanya aku masih menyimpan perasaan padanya? Perasaan tiga tahun lalu yang ia sia siakan begitu saja?
"Mengapa..." ucapku lirih, dia nampak terkejut.
"Tetsu, aku... aku hancur tanpamu, aku... aku sudah putus dengan Ai..."
Putus? Putus bagaimana? Bukankah kalian saling mencintai? Bukankah kau sendiri yang memilihnya?
"Aomine-kun..."
"Tetsu, suki da yo.." dia mempererat pelukannya.
Aku tidak mengerti saat itu, entah aku harus senang atau bagaimana? Yang jelas aku hanya bisa menangis, akhirnya aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya lagi, melihatnya di hadapanku sekali lagi, secara ajaib segala kebencian sesaatku padanya menghilang hanya dengan merasakan sentuhan tangannya.
"Kau mau kan kembali padaku?" ucap Aomine lirih.
"Iya... iya... aku mau, tapi asal kau berjanji kau tidak akan meninggalkanku lagi ya?" ucapku.
"Iya Tetsu, aku janji.. Kehilanganmu itu adalah keputusan terburuk dalam hidupku..." diciumnya bibirku perlahan dan aku meleleh didalam manisnya perasaanku sekarang, terbuai oleh segala sentuhannya dan aku bisa berkata sekali lagi.
'Ah, aku menemukannya, orang yang selama ini kucari... yang telah hilang dan kini kembali... orang yang bisa mengisi kekosongan di hatiku.'
.
.
.
-=Beberapa Bulan Kemudian=-
Aku sudah menjalin kembali hubunganku dengan Aomine, hubungan kasih yang sempat terputus, hampir genap satu bulan hubungan yang kami bangun kembali ini, dan kami banyak melewati beberapa masa indah, dan sekarang aku menjadi miliknya seutuhnya.
Namun kebanyakan orang bilang, sepasang kekasih yang tidak pernah bertengkar itu adalah mustahil, tapi aku berusaha untuk menghindari hal itu.
Sampai hal ini terjadi, hanya karena urusan nama panggilan, aku bertengkar hebat dengannya...
"Aomine-kun?"
"Ada apa Tetsu?" dia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
"Anoo... setahuku duli saat kau dengan Kise-kun, kau memanggilnya dengan sebutan 'Ai'kalau untukku apa?..." aku menundukkan kepalaku.
Dia terdiam.
"A-aku kan menyebutmu dengan nama kecilmu.." dia mencoba untuk tertawa.
"Apa itu karena saat kau dengan Kise-kun, kau yang bilang suka ke dia jadi kau yang memperhatikan dia? Dan menyebutnya dengan sebutan Ai? Kalau denganku, karena aku yang bilang suka, jadi kau berbuat seperti ini?"
Dia terdiam kembali.
"A-aku hanya ingin diperhatikan, setidaknya seperti kau memperhatikan dia.." bibrku gemetar.
Dia masih tidak menjawab.
"Enak ya... Kise-kun diperhatikan olehmu, dipanggil Ai pula..."
"A-aku mau pulang dulu, sedang tidak enak badan.." Dia pergi meninggalkanku.
Tidak enak badan? Setahuku daritadi ia baik baik saja...
-=Keesokan harinya=-
"Aomine-kun..." aku memutuskan untuk mengundangnya kerumahku untuk membicarakan pertengkaran kami namun aku malah mengucapkan hal bodoh..
"Kalau kau ingin kembali dengan Kise-kun aku bisa bantu carikan dia.." ucapku dalam keputus asaanku.
Dari semalam Aomine-kun dingin, dan nampak kesal, aku dengan bodohnya tidak bisa membaca pikiran dia, aku hanya ingin pertengkaran ini selesai karena besok lusa adalah hari jadi kami yang ke satu bulan, namun aku gegabah dan salah ambil tindakan..
"Tidak usah..."
"Jadi mau mencari sendiri?"
"Tidak."
"Aku tau kau masi menyukainya, kalau kau mau kembali padanya aku tidak apa apa.."
"Siapa yang bilang kalau aku mau kembali padanya? SIAPA?" nada bicaranya meninggi.
"Tidak ada.."
"Siapa yang bilang aku masih menyukainya? KATAKAN SIAPAA!" kini dia benar benar marah.
"Tidak ada..."
"Aku itu menyukaimu, didalam pikiranku hanya ada kamu, yang aku pikirkan KEMARIN, HARI INI, atau LUSA YA KAMU!"
"Aku gak mau ngomong lagi! TITIK!" bentaknya
"Jadi kau gak mau bicara lagi denganku?"
B-bodoh... kenapa aku malah bicara seperti itu, aku sumpah tidak ingin mengatakan hal ini, tapi aku tau aku tidak bisa menarik ucapanku lagi, dan aku ingin mati rasanya..
"Jadi kalau itu maumu, selamat tinggal, sukses untuk kehidupanmu yang lebih baik!" dia keluar dari rumahku dan membanting pintu, kemudian dia tidak terlihat lagi...
BAKA BAKA BAKA BAKA BAKA! Apa yang aku lakukan! Apa yang baru aku katakan, kenapa sekarang aku yang merusaknya, hubungan yang selama ini berusaha aku pertahankan, tapi kenapa rasa cemburu semu ini yang menghacurkannya sekarang...
Aku tidak yakin kalau dia akan mencintaiku lagi seperti dulu, kalau dulu itu masih mungkin, namun sekarang, aku lah biang keladinya, aku yang bodoh...
Aku memutuskan untuk mengirimkan sebuah e-mail, yang berisikan permintaan maaf dan aku berjanji tidak mengulangi kesalahan itu lagi.
-=2 Hari kemudian=-
Aku berhasil menemuinya kembali, namun sekarang dia menjadi dingin... dan aku kembali menyalahkan diriku sampai setidaknya dia benar benar memaafkanku.
Dia bilang, entah dia bisa menjadi kekasihku lagi atau tidak, karena dia benar benar merasakan sakit yang tidak terperi, dan aku mengerti rasanya dan aku berusaha meraih hatinya lagi sekali lagi, karena aku tahu, bahwa masih ada harapan yang tersisa walah cahaya itu hanya sebesar titik kecil.
"Aomine-ku maafkan aku aku sudah egois, egois sekali, aku tau aku salah tapi setidaknya aku ingin berbaikan denganmu, dan aku menyesal akan perbuataku waktu itu..."
"Apa kau mau membuatku menangis lagi?"
"Aku benar benar menyesal... aku..." aku terdiam.
"Kalau tidak padamu, aku tidak tau harus melabuhkan cinta ini untuk siapa. Kalau tidak denganmu, aku tidak tau aku bisa jatuh cinta lagi atau tidak, karena aku tau aku mencintaimu, dan aku sudah jatuh cinta sangat dalam denganmu... aku ingin kau tersenyum seperti dulu, kalau kau sedih itu yang membuatku sedih... kalau kau senang itulah yang membuatku senang..."
"Aku maafin kamu tapi kamunya keras kepala..."
Aku tidak bisa menjawab..
"Aku itu menyukaimu, didalam pikiranku hanya ada kamu, yang aku pikirkan kemarin, hari ini, atau lusa yah hanya kamu"
"Dan aku gak mau ngomong lagi..."
"Aku salah paham dengan kalimat yang itu... dan asal kau tau, aku bertindak gegabah dan tolol seperti itu, karena aku hanya ingin cepat baikan sama kamu... kau tau besok hari apa?" ucapku sambil menangis.
"Apa?"
"Hari anniversary kita, yang kesatu bulan.."
Aku bisa melihat hati yang membeku itu perlahan bisa mencair walaupun perlahan, dan aku tahu, cahayanya sudah kembali walaupun masih sedikit...
"Maafkan aku Tetsu... suki da..." dia memelukku erat.
"Suka... suka.. sukaa... aku tidak tau harus bilang apa, yang hanya bisa kukatakan padamu hanya suka... iie... bukan hanya sekedar suka, aku mencintaimu Aomine-kun..."
"Aku juga Tetsu, aku mencintaimu.."
"Biarkan aku menangis sebentar karena aku bahagia, kau sudah kembali lagi..."
Dia mengelus punggungku lembut.
"Yokattaa..." Aku tenggelam sekali lagi dalam hangat tubuhnya dan aku menangis sejadi jadinya.
"Aku mencintaimu Aomine-kun..."
"Aku juga mencintaimu Tetsu..."
I used to be alone
So I had the meaning of the future all wrong
I may still deny it
Your arms are so warm
Because it's all true love and true tenderness
And me admiring your determination
Was because those were your true feelings and true strength,
I want to convey these feelings to you
Your tears
Are proof of your life
I'm also shedding the same type of tears
Your smile
Is a brilliant scenery
I too want to smile like you do.
I want to convey these feelings to you
I was struck by your honesty
And decided to keep on walking forward
Your arms are so warm
Because it's all true love and true tenderness
And me admiring your determination
Was because those were your true feelings and true strength,
I want to convey these feelings to you
Aomine Daiki & Kuroko Tetsuya
~FIN~

0 comments:

Post a Comment

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut